Hidden Figures: Tak Berhenti
Berjuang karena
Warna Kulit
Kali ini saya akan
mengulas sebuah film yang mengingatkan kita pada sosok Kartini yang
memperjuangkan hak-hak wanita Indonesia. Namun, bedanya di tulisan kali ini
bukan tentang film dalam negeri, melainkan film garapan Theodore Melfi yang
berjudul Hidden Figures. Sudah tersurat dari judul filmnya saja, film
ini bercerita tentang sosok-sosok tersembunyi, siapa sih?
Film bergenre drama sejarah ini menceritakan tentang
tokoh-tokoh wanita berkulit hitam yang memperjuangkan haknya melawan pemisahan
ras dan gender. Film berlatarkan tempat di kota Hampton, Virginia ini dimulai ketika
ketiga tokoh utamanya bertemu dengan polisi berkulit putih. Tidak kaget kalau
mereka diremehkan saat polisi tersebut mengetahui bahwa mereka bekerja untuk National Aeronautics Space Administration
atau yang lebih dikenal dengan NASA. Yup, pekerja wanita memang masih sangat
jarang diketahui dapat diterima bekerja di perusahaan bonafid itu, apalagi
mereka adalah negro.
Salah satu dari wanita negro itu bernama Katherine
Goble. Sejak kecil dia sangat ahli dalam bermain dengan angka-angka. Di NASA,
dia bekerja sebagai analisa geometri di divisi Space Task Group. Dia melakukan penghitungan yang dibutuhkan untuk
peluncuran dan pendaratan untuk program luar angkasa. Kedua temannya pun sama,
Mary Jackson, bekerja dengan sebagai teknisi mesin, dan Dorothy Vaughan, ahli
matematika yang bekerja mengawasi para wanita negro yang dipekerjakan di NASA.
Aroma-aroma diskriminasi masih sangat kental dirasakan pada saat itu, terutama
rasisme terhadap perbedaan warna kulit. Sudah pasti, orang berkulit putih lah
yang lebih berkuasa. Dalam hal pekerjaan di kantor besar semacam NASA yang
bergerak di bidang astronomi, sangat terlihat para karyawannya masih tidak
menghargai para pekerja berkulit hitam. Terbukti dari tidak adanya toilet
wanita di gedung tempat Katherine bekerja. Bayangkan, bagaimana rasanya menahan
air seni yang sudah di ujung tanduk namun tak ada tempat untuk membuangnya?
Ditambah lagi, ukuran teko kopi yang tersedia di pojok ruangan yang hanya
sepertiga dari ukuran jatah para pekerja berkulit putih?
Beruntungnya kita tidak hidup di zaman penuh
diskriminasi seperti itu. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti pernah
merasakan tidak enaknya dipandang sebelah mata saat kita memilih tempat duduk
di bus hanya karena kita terlihat seperti “orang Timur”, atau mungkin saat
berpapasan dengan anak kecil di jalan lalu mereka menyapa dengan “Koh” hanya
karena mata kita sipit dan terlihat seperti keturunan Cina, dan masih banyak
contoh diskriminasi lain hanya karena kita minoritas atau tidak sama seperti
yang lain. Hal tersebut persis terjadi pada ketiga tokoh utama wanita dalam
film ini. Mereka bahkan merasa bahwa menjadi negro adalah sebuah kejahatan.
Alur yang digunakan dalam film ini adalah alur mundur
yang mana diangkat berdasarkan kisah nyata. Kisah nyata ini terjadi sekitar
tahun 1960-an. Latar yang kebanyakan bertempat di kantor NASA pun menghiasi
hampir keseluruhan ceritanya. Perbedaan latar gedung West Computing Group bagi para kulit hitam dan gedung East Computing Group bagi kulit putih
terlihat sangat signifikan.
Suatu ketika, kabar mendaratnya astronot Rusia pertama
di luar angkasa seolah menjadi cambuk bagi pihak NASA selaku saingannya.
Amerika lantas tak terima dengan hal itu. Pihak NASA pun makin giat mengerahkan
para pekerjanya untuk lebih kerja keras lagi dalam mengirim para astronotnya ke
luar angkasa. Tentu saja, peran Katherine dirasa cukup dipertimbangkan dalam
hal ini.
Karakter Katherine sangat mendominasi dalam film ini.
Kehidupan sehari-harinya yang merupakan seorang janda beranak tiga juga
dikisahkan di dalamnya. Tak melulu diremehkan oleh orang-orang di kantornya,
seorang pria tentara yang pada akhirnya tertarik dengannya pun awalnya tak
menyangka jika seorang wanita seperti Katherine dapat bekerja di kantor NASA.
Katherine yang pantang menyerah itu membuktikan kemampuannya agar dapat diakui
dan tak dipandang sebelah mata lagi oleh orang-orang, seperti Paul Stafford,
sang kepala insinyur di departemen tempatnya bekerja. Sosoknya yang tegas dan berani
menyuarakan pendapat akhirnya terdengar oleh atasannya, Al Harrison. Perlahan
namun pasti, keberadaan para kulit hitam pun diakui oleh orang-orang kulit
putih karena kemampuan intelektualnya yang dapat diandalkan.
Konflik tak hanya terjadi pada Katherine saja. Konflik
dalam film ini juga dihiasi oleh cerita kehidupan Mary dan Dorothy. Mary yang
merupakan lulusan matematika sains dan fisika dirasa tidak cukup memenuhi
persyaratan untuk mendaftar ke sekolah insinyur. Namun sayangnya, hanya orang
berkulit putih lah yang berhak menghadiri sekolah tersebut. Atas dorongan dari
atasannya, ia berusaha kerasa untuk memperjuangkan haknya sebagai wanita negro
yang memiliki impian untuk menjadi insinyur di NASA. Untuk mewujudkan hal itu,
ia diharuskan mengikuti sekolah khusus yang melatih calon insinyur.
Tak hanya itu, Dorothy Vaughan merasa dirinya tak
cukup dihargai meski ia sudah mengabdi sekian lamanya bekerja di kantor itu. Ia
berkeinginan untuk menempati posisi kosong sebagai supervisor di East Computing
Group. Tolakan mentah-mentah disampaikan oleh Vivian Mitchel yang
diperankan oleh Kirsten Dunst. Kegigihannya untuk memberikan bantuan agar mesin
IBM dapat bekerja akhirnya membuahkan
hasil.
Bagian yang paling saya sukai adalah ketika Katherine
melakukan penghitungan untuk persiapan peluncuran astronot ke luar angkasa.
Penghitungannya yang akurat membuatnya dapat diandalkan dan dipercaya untuk
bergabung dengan misi NASA selanjutnya untuk mendarat di bulan pada tahun 1969.
Dialog-dialog yang terjadi pada film ini benar-benar
memberikan para penonton gambaran tentang apa yang terjadi saat pertama kali
NASA menerbangkan astronot, bagaimana jerih payah para pekerjanya untuk
bersama-sama mencapai keberhasilan, serta bagaimana para negro memperjuangkan
keseteraan haknya yang selama ini dirasa sangat tidak adil.
Taraji P. Henson memerankan tokoh utama dengan sangat
baik. Ia merepresentasikan bagaimana seorang wanita negro yang tak kenal lelah
untuk membuktikan bahwa mereka tidak berbeda, mereka adalah sama. Kepiawaiannya
dalam berakting di film ini sangat patut untuk diacungi jempol.
Hal yang saya sukai lagi dalam film ini adalah jalan
ceritanya yang tidak membosankan dan lika-liku kehidupan yang terkesan nyata
dan tidak dilebih-lebihkan. Ada beberapa kisah cinta para tokoh utama yang
membumbui film ini dengan pas. Tak hanya itu, suasana menegangkan pun kerap
menghiasi beberapa bagian dalam film, seperti saat sang astronot mengalami
kesalahan teknis mesin.
Amanat yang bisa kita petik dari film ini adalah
jangan mudah menyerah pada situasi yang menimpa kita, sekalipun itu adalah hal
tak bisa kita ubah, seperti warna kulit. Bersyukurlah jika kalian dianugerahi
kemampuan dan dapat dengan mudahnya mendapatkan pengakuan dalam lingkungan
sosial seperti sekarang ini. Meskipun tidak sesuai ekspektasi, tetaplah
berkarya dan memberikan manfaat kepada sekitar dan selalu percaya bahwa proses
tidak akan mengkhianati hasil.
Sutradara :
Theodore Melfi
Produser : Donna Gigliotti, Peter
Chernin, Jenno Topping, Pharrel Williams, Theodore Melfi
Penulis skenario :
Allison Schroeder, Theodore Melfi
Berdasarkan pada :
Buku Hidden Figures oleh Margot Lee Shetterly
Pemain : Taraji P. Henson,
Octavia Spencer, Janelle Monae, Kevin Costner, Kirsten Dunst, Jim Parsons
Genre :
Drama, Sejarah
Durasi :
127 menit
Tanggal rilis :
10 Maret 2017 (Indonesia)
Rating :
7.8 / 10 (IMDb), 93% (Rotten Tomatoes), 74% (Metacritic)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar