Rabu, 13 Juni 2018

Movie Review: HIDDEN FIGURES




Hidden Figures: Tak Berhenti Berjuang karena
Warna Kulit


Kali ini saya akan mengulas sebuah film yang mengingatkan kita pada sosok Kartini yang memperjuangkan hak-hak wanita Indonesia. Namun, bedanya di tulisan kali ini bukan tentang film dalam negeri, melainkan film garapan Theodore Melfi yang berjudul Hidden Figures. Sudah tersurat dari judul filmnya saja, film ini bercerita tentang sosok-sosok tersembunyi, siapa sih?

Film bergenre drama sejarah ini menceritakan tentang tokoh-tokoh wanita berkulit hitam yang memperjuangkan haknya melawan pemisahan ras dan gender. Film berlatarkan tempat di kota Hampton, Virginia ini dimulai ketika ketiga tokoh utamanya bertemu dengan polisi berkulit putih. Tidak kaget kalau mereka diremehkan saat polisi tersebut mengetahui bahwa mereka bekerja untuk National Aeronautics Space Administration atau yang lebih dikenal dengan NASA. Yup, pekerja wanita memang masih sangat jarang diketahui dapat diterima bekerja di perusahaan bonafid itu, apalagi mereka adalah negro.

Salah satu dari wanita negro itu bernama Katherine Goble. Sejak kecil dia sangat ahli dalam bermain dengan angka-angka. Di NASA, dia bekerja sebagai analisa geometri di divisi Space Task Group. Dia melakukan penghitungan yang dibutuhkan untuk peluncuran dan pendaratan untuk program luar angkasa. Kedua temannya pun sama, Mary Jackson, bekerja dengan sebagai teknisi mesin, dan Dorothy Vaughan, ahli matematika yang bekerja mengawasi para wanita negro yang dipekerjakan di NASA. Aroma-aroma diskriminasi masih sangat kental dirasakan pada saat itu, terutama rasisme terhadap perbedaan warna kulit. Sudah pasti, orang berkulit putih lah yang lebih berkuasa. Dalam hal pekerjaan di kantor besar semacam NASA yang bergerak di bidang astronomi, sangat terlihat para karyawannya masih tidak menghargai para pekerja berkulit hitam. Terbukti dari tidak adanya toilet wanita di gedung tempat Katherine bekerja. Bayangkan, bagaimana rasanya menahan air seni yang sudah di ujung tanduk namun tak ada tempat untuk membuangnya? Ditambah lagi, ukuran teko kopi yang tersedia di pojok ruangan yang hanya sepertiga dari ukuran jatah para pekerja berkulit putih?

Beruntungnya kita tidak hidup di zaman penuh diskriminasi seperti itu. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti pernah merasakan tidak enaknya dipandang sebelah mata saat kita memilih tempat duduk di bus hanya karena kita terlihat seperti “orang Timur”, atau mungkin saat berpapasan dengan anak kecil di jalan lalu mereka menyapa dengan “Koh” hanya karena mata kita sipit dan terlihat seperti keturunan Cina, dan masih banyak contoh diskriminasi lain hanya karena kita minoritas atau tidak sama seperti yang lain. Hal tersebut persis terjadi pada ketiga tokoh utama wanita dalam film ini. Mereka bahkan merasa bahwa menjadi negro adalah sebuah kejahatan.

Alur yang digunakan dalam film ini adalah alur mundur yang mana diangkat berdasarkan kisah nyata. Kisah nyata ini terjadi sekitar tahun 1960-an. Latar yang kebanyakan bertempat di kantor NASA pun menghiasi hampir keseluruhan ceritanya. Perbedaan latar gedung West Computing Group bagi para kulit hitam dan gedung East Computing Group bagi kulit putih terlihat sangat signifikan.
Suatu ketika, kabar mendaratnya astronot Rusia pertama di luar angkasa seolah menjadi cambuk bagi pihak NASA selaku saingannya. Amerika lantas tak terima dengan hal itu. Pihak NASA pun makin giat mengerahkan para pekerjanya untuk lebih kerja keras lagi dalam mengirim para astronotnya ke luar angkasa. Tentu saja, peran Katherine dirasa cukup dipertimbangkan dalam hal ini.

Karakter Katherine sangat mendominasi dalam film ini. Kehidupan sehari-harinya yang merupakan seorang janda beranak tiga juga dikisahkan di dalamnya. Tak melulu diremehkan oleh orang-orang di kantornya, seorang pria tentara yang pada akhirnya tertarik dengannya pun awalnya tak menyangka jika seorang wanita seperti Katherine dapat bekerja di kantor NASA. Katherine yang pantang menyerah itu membuktikan kemampuannya agar dapat diakui dan tak dipandang sebelah mata lagi oleh orang-orang, seperti Paul Stafford, sang kepala insinyur di departemen tempatnya bekerja. Sosoknya yang tegas dan berani menyuarakan pendapat akhirnya terdengar oleh atasannya, Al Harrison. Perlahan namun pasti, keberadaan para kulit hitam pun diakui oleh orang-orang kulit putih karena kemampuan intelektualnya yang dapat diandalkan.

Konflik tak hanya terjadi pada Katherine saja. Konflik dalam film ini juga dihiasi oleh cerita kehidupan Mary dan Dorothy. Mary yang merupakan lulusan matematika sains dan fisika dirasa tidak cukup memenuhi persyaratan untuk mendaftar ke sekolah insinyur. Namun sayangnya, hanya orang berkulit putih lah yang berhak menghadiri sekolah tersebut. Atas dorongan dari atasannya, ia berusaha kerasa untuk memperjuangkan haknya sebagai wanita negro yang memiliki impian untuk menjadi insinyur di NASA. Untuk mewujudkan hal itu, ia diharuskan mengikuti sekolah khusus yang melatih calon insinyur.
Tak hanya itu, Dorothy Vaughan merasa dirinya tak cukup dihargai meski ia sudah mengabdi sekian lamanya bekerja di kantor itu. Ia berkeinginan untuk menempati posisi kosong sebagai supervisor di East Computing Group. Tolakan mentah-mentah disampaikan oleh Vivian Mitchel yang diperankan oleh Kirsten Dunst. Kegigihannya untuk memberikan bantuan agar mesin IBM dapat bekerja akhirnya membuahkan hasil.
Bagian yang paling saya sukai adalah ketika Katherine melakukan penghitungan untuk persiapan peluncuran astronot ke luar angkasa. Penghitungannya yang akurat membuatnya dapat diandalkan dan dipercaya untuk bergabung dengan misi NASA selanjutnya untuk mendarat di bulan pada tahun 1969.

Dialog-dialog yang terjadi pada film ini benar-benar memberikan para penonton gambaran tentang apa yang terjadi saat pertama kali NASA menerbangkan astronot, bagaimana jerih payah para pekerjanya untuk bersama-sama mencapai keberhasilan, serta bagaimana para negro memperjuangkan keseteraan haknya yang selama ini dirasa sangat tidak adil.
Taraji P. Henson memerankan tokoh utama dengan sangat baik. Ia merepresentasikan bagaimana seorang wanita negro yang tak kenal lelah untuk membuktikan bahwa mereka tidak berbeda, mereka adalah sama. Kepiawaiannya dalam berakting di film ini sangat patut untuk diacungi jempol.

Hal yang saya sukai lagi dalam film ini adalah jalan ceritanya yang tidak membosankan dan lika-liku kehidupan yang terkesan nyata dan tidak dilebih-lebihkan. Ada beberapa kisah cinta para tokoh utama yang membumbui film ini dengan pas. Tak hanya itu, suasana menegangkan pun kerap menghiasi beberapa bagian dalam film, seperti saat sang astronot mengalami kesalahan teknis mesin.
Amanat yang bisa kita petik dari film ini adalah jangan mudah menyerah pada situasi yang menimpa kita, sekalipun itu adalah hal tak bisa kita ubah, seperti warna kulit. Bersyukurlah jika kalian dianugerahi kemampuan dan dapat dengan mudahnya mendapatkan pengakuan dalam lingkungan sosial seperti sekarang ini. Meskipun tidak sesuai ekspektasi, tetaplah berkarya dan memberikan manfaat kepada sekitar dan selalu percaya bahwa proses tidak akan mengkhianati hasil.

Saya sangat merekomendasikan film ini untuk ditonton oleh kalian para muda-mudi masa kini, terutama kaum perempuan. Jadikanlah hambatan sebagai suntikan untuk tetap semangat meraih apa yang kalian inginkan. Seperti kutipan terkenal dari Ibu Kartini yang berbunyi “Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apalah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenarnya kejam.”





Sutradara                     : Theodore Melfi
Produser                      : Donna Gigliotti, Peter Chernin, Jenno Topping, Pharrel Williams, Theodore Melfi
Penulis skenario          : Allison Schroeder, Theodore Melfi
Berdasarkan pada       : Buku Hidden Figures oleh Margot Lee Shetterly
Pemain                          : Taraji P. Henson, Octavia Spencer, Janelle Monae, Kevin Costner, Kirsten Dunst, Jim Parsons
Genre                          : Drama, Sejarah
Durasi                          : 127 menit
Tanggal rilis                 : 10 Maret 2017 (Indonesia)
Rating                         : 7.8 / 10 (IMDb), 93% (Rotten Tomatoes), 74% (Metacritic)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar